Selama beberapa dekade di Turki, Perjuangan dan pertarungan antara
kekuatan Islam dan sekuleris berlangsung sangat keras. Sampai
perlahan-lahan Erdogan memenangkan pertarungan melawan kaum sekuleris,
yang diwakili oleh militer.
Bangunan sekulerisme yang terstruktur dalam bentuk kekuasaan,
dibangun oleh Kemal Attaturk, sudah berlangsung sejak tahun 1924,
bersamaan dengan keruntuhan Khilafah Otsmaniyah. Keruntuhan Turki
Otsmani itu, di formalkan oleh Jenderal Kemal Attaturk ke dalam
konstitusi, yang secara tegas menyatakan Turki sebagai negara sekuler.
Bukan negara agama. Islam tidak lagi menjadi sumber hukum bagi kehidupan
bernegara.
Perjuangan
pertarungan antara kalangan Islamis melawan sekuleris, yang berlangsung
selama beberapa dekade itu, baru mencapai puncaknya, ketika Erdogan
dengan Partai AKP, membangun kekuatan entitas politik di Turki. Erdogan
seperti membangun kembali puing-puing reruntuhan Khilafah Otsmaniyah,
dan mulai menampakkan wujudnya.
Turki di bawah Erdogan, seorang Muslim yang taat, kini berubah total.
Sekulerisme mulai digerus, dan nilai-nilai Islam mulai nampak temaram.
Seperti yang dituturkan oleh seorang pelancong dari Indonesia, baru saja
meninggalkanTurki.
Turki benar-benar berubah. Bukan hanya kota-kota di Turki yang sangat
bersih dan teratur. Tetapi, rakyat Turki jauh lebih makmur,
dibandingkan ketika masih hidup dibawah kaum sekuleris.
Ekonomi
Turki terbesar keempat di Eropa, tak terpengaruh oleh krisis di zona
Eropa. Ekonominya tumbuh 5 persen, dan angka inflasi kurang dari dua
digit. Income perkapita rakyatnya, sudah diatas $ 5.000 dollar.
Perdagangan dengan negara-negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, terus
mengalami surplus.
Sekolah, perguruan tinggi, rumah makan bagi rakyat, transportasi, dan
perumahan, semuanya disubsidi oleh pemerintah. Pelancong dari Indonesia
itu merasa senang berkunjung ke Turki.
Semua kebutuhan pokok rakyat tercukupi, tak ada yang kesulitan.
Rakyat benar-benar makmur, dan aman di Turki, sekalipun sekarang masih
sering terjadi pemboman oleh kelompok separatis Kurdi. Tetapi, Erdogan
perlahan mencari solusi.
Di bawah Erdogan dan Partai AKP (Paratai Keadilan dan Pembangunan),
segalanya telah berubah. Kebebasan keagamaan diberikan seluas-luasnya
oleh pemerintah. Turki yang sangat modern dan maju ekonomi, dan
kehidupan rakyatnya sudah menyamai negara-negara di zona Eropa, kini
menjadi salah satu negara yang mengenakan pajak tertinggi di dunia
terhadap alkohol dan rokok.Jadi tidak sembarangan orang bisa minum dan
merokok di Turki. Orang yang minum dan merokok, harus benar-benar orang
kantongnya tebal. Inilah cara melarang pemerintah Turki terhadap alkohol
dan rokok.
Akan tetapi kontra terus bergulir, Kekuatan sekulerisme masih ada,
sudah kehilangan kekuasaannya, tetapi masih memiliki pijakan dalam
konstitusi. Sekulerisme masih memiliki akar sejarah, yang diletakkan
oleh Kemal Attaturk, dan menampakkan kegagalannya di Turki, serta mulai
redup, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan Islam di Turki, yang
perlahan-lahan maju menggantikan sistem yang bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Dikabarkan bahwa wacana publik atas isu pemakaian jilbab mencerminkan
suatu perjuangan internal demokratis atas kebebasan individu. Seperti
diketahui, mengenai masalah ini, Turki merupakan negara terpolarisasi
dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok
muslim dan sekularis.
Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan
kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik
provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Mustafa
Kemal Atatürk, pendiri The Founder Of Modern Turkey, melihat jilbab
sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di modernisasi Republik
Turki. Visi Ataturk belum berhasil sebab kecenderungan agama penduduk
Turki, meskipun jilbab telah dilarang di sekolah-sekolah, universitas
dan masyarakat sipil. Sebab lebih dari 60% dari perempuan Turki menutupi
kepala mereka dengan pilihannya.
Tak hanya itu, para sekularis di Turki juga khawatir terhadap Partai
Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa untuk kemudian menjadi
gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat meningkatkan profil
publik Islam akan jilbab.
Tindakan AKP misalnya yang didorong melalui RUU mencabut larangan
selama puluhan tahun pada perempuan yang mengenakan jilbab di
universitas-universitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan dari pihak
sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi kelas
menengah yang tumbuh konservatif membentuk basis politik AKP.
Konflik
internal atas jilbab di Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik
terhadap pelarangan jilbab di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada
diperingkat kedua terbesar mayoritas Muslim di dunia sama seperti
negara-negara Eropa lainnya, di mana umat Islam tidak hanya minoritas
tetapi sering terpinggirkan?
Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan
keamanan, sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah
terselubung dengan isu-isu imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah
sebuah bentuk perjuangan untuk mendefinisikan identitas. Dimana mengenai
hal sosial dan politik dari perjuangan ini yang pada akhirnya akan
menentukan masa depan yang sangat berarti bagi Turki.
Hal lain yang menyedihkan yakni
Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik sejarah.
Turki memberlakukan hukum sekuler yang melarang umat Islam dan juga Kristen beribadah secara formal selama 6 abad di museum yang merupakan gereja katedral terbesar di dunia sebelum Ottoman merubahnya menjadi masjid pada abad 15. Pengubahan Haghia Sophia menjadi museum sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik sejarah.
Ketua Asosiasi Pemuda Anatolia, Salih Turhan, mengatakan
penutupan Masjid Haghia Sophia adalah penghinaan bagi umat Islam dan
merupakan perlakuan buruk Barat. “Penutupan Masjid Hagia Sophia adalah
sebuah penghinaan dan lambang perlakuan buruk Barat terhadap Islam,”
kata Turhan seperti dikutip Reuters Ahad (3/6).
Sementara
itu, Organisasi Ortodoks Dunia, The Ecumenical Patriarchate, berharap
Haghia Sophia tetap menjadi museum. “Kami ingin Haghia Sophia tetap
menjadi museum sejalan dengan prinsip-prinsip Republik Turki,” ujar juru
bicara The Ecumenical Patriarchate, Pastor Dositheos Anagnostopulos.
Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdoa di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan. Diambil dari Era Muslim
Menurutnya jika Haghia Sophia kembali menjadi sebuah masjid, umat Kristen tidak akan bisa berdoa di sana, dan hal tersebut akan mengundang kekacauan. Diambil dari Era Muslim